PERSETUJUAN
PEMBAGIAN
WARIS MENURUT HUKUM ISLAM
DAN
HUKUM ADAT JAWA
oleh
Fajar Siddiq
Disetujui dan disyahkan oleh:
Pembimbing, Wali
Kelas
Dadang Ernawan, S.Ag Neni Haerunisa, S.Pd
diketahui,
Mudirul’am Mudir
Mu’allimin
PPI Tarogong PPI Tarogong
H.M
Iqbal Santoso Drs.
Saeful Hayat
PENGESAHAN
PEMBAGIN WARIS
MENURUT HUKUM ISLAM
DAN HUKUM ADAT JAWA
oleh
Fajar Siddiq
Karangan Ilmiah Santri ini telah diujikan
tanggal……………………
Penguji 1 Penguji
II
( ) ( )
PERNYATAAN
Dengan
ini saya menyatakan bahwa karangan ilmiah santri ini benar-benar merupakan
karya saya sendiri, dan jika ternyata karya ini kary yng sudah ada atau karya
orang lain, maka saya bersedia untuk mendapatkan sangsi.
Demikian
pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.
Garut, …………………2013
Penulis
( Fajar Siddiq )
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Asma
Nurhanifah
No.
Induk : 131410.085
Tempat
Tanggal Lahir : Garut, 08 November1998
Alamat :
Jl. Ry Samarang Ds. Mekar Wangi Rt/Rw 01/04
Kec.
Tarogong Kaler Kab. Garut
Nama
Orang Tua :
Ayah :Engkus
Kus Dinar
Ibu :
Aisyah
Pekerjaan
Orang Tua :
Ayah : Petani
Ibu :
Ibu Rumah Tangga
Pendidikan :
- 2000 – 2001 TK Pertiwi Samarang
- 2001
– 2004 SDN Samarang 1
- 2004 – 2007
SDN Mekar Wangi II
- 2007 – 2010 Tsanawiyyah Persis Tarogong 76
- 2010 – 2013
Mu’allimin Persis Tarogong 76
MOTO
Siapa
yang ingin bisa maka harus berusaha
Karangan
ilmiah santri ini tulus ku persembahkan untuk :
Ayahanda
dan Ibundaku tercinta
Serta
keluargaku, kalian adalah segalanya bagiku
KATA PENGANTAR
Segala puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
senantiasa memberikan kekuatan serta petunjuk-Nya sehingga terselesaikannya
karangan ilmiah ini. Shalawat serta salam terlimpahkan kepada nabi Muhammad SAW
yang telah membimbing umatnya dari zaman kegelapan menuju kepada zaman yang
terang benderang (Islam).
Alhamdulillah, dengan inayah dan rahmat Allah SWT yang Maha
Pemurah, penulis dapat menyelesaikan penyusunan karangan ilmiah yang sederhana
ini dengan segala daya dan upaya yang penulis curahkan.
Dalam menyusun karangan ilmiah ini, penulis tidak terlepas dari
bantuan barbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin penulis ingin
menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.
Ibunda
dan Ayahanda tercinta yang telah ikhlas memberikan do’a dan motivasi mereka
yang tulus dan bantuan material.
2.
Keluargaku
yang telah mensuport dan menghiburku.
3.
Ustadz
Dadang Ernawan, S.Ag, selaku pembimbing utama dalam melaksanakan karya tulis
ini yang telah menyumbangkan waktu, pemikiran selama pembuatan karangan ilmiah
ini.
4.
Ustadzah
Enung dan ustadzah Elsa selaku Biro karangan ilmiahyang telah memberikan
kesempatan bagi penulis dalam penyelesaian karangan ilmiah ini.
5.
Ustadz
M. Iqbal Santoso, selaku pimpinan Pesantren Persatuan Islam 76.
6.
Ustadz
Saeful Hayat, selaku Mudir Mu’allimin.
7.
Ustadzah
Neni Haerunisa, S.Pd, selaku Wali kelas XII IAI 2 yang selalu mengingatkan dan
memberikan semangat kepada penulis.
8.
Semua
sahabat-sahabatku seperjuangan yang tetap setia membantu, dan memberikan
semangat dan motivasi sehingga karangan ilmiah santri ini dapat terwujud.
9.
Semua
pihak yang telah membantu memberikan kemudahan dan kelancaran pembuatan
karangan ilmiah santri ini.
Kepada mereka semua, penulis haturkan banyak terima kasih,
mudah-mudahan kebaikan mereka menjadi amal shaleh dan mendapat pahala dari
Allah SWT dalam penyusunan karangan ilmiah santri ini.dan semoga karangan
ilmiah santri ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan taufik kepada kita
semua.
Garut, 2015
M
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam
sebagai agama yang sempurna dalam arti mengatur segala aspek kehidupan manusia,
salah satunya dalam hal waris, pembagian harta waris. Islam mengajarkan tentang
pembagian harta warisan dengan seadil – adilnya agar sesuai dengan ketentuan
syariat Islam, tidak terjadi perselisihan dan saling memfitnah diantara para
ahli waris serta agar harta waris menjadi halal dan bermanfaat.
Berbicara
tentang waris, ini bukan lagi pembicaraan yang baru dikenal dan hal yang baru
dikehidupan manusia, permasalahan mengenai sengketa waris sering dijumpai di
Indonesia, hukum waris di Indonesia masih bersifat majemuk, hal itu terjadi
karena di Indonesia belum mempunyai hukum waris Nasional yang sejak dulu sampai
sekarang masih beraneka ragam. Diantaranya hukum waris Islam, hukum waris adat
dan hukum waris barat . - yang akan penulis bahas hanya 2- .
Hukum
waris menurut Islam berasal dari bahasa arab yang berarti peninggalan –
peninggalan yang di tinggalkan oleh seseorang yang meninggal. Hukum itu di
namakan faraidh yang artinya pembagian tertentu.
Penggunaan
istilah waris adat ini adalah untuk membedakan dengan istilah hukum waris
barat, hukum waris Islam, dan hukum waris Indonesia. Karena substansi
pembahasan dari ketiga istilah tersebut sangat berbeda meski dalam satu bidang
yang sama.
Sistem
kewarisan yang biasa digunakan didalam masyarakat adat Jawa mempunyai kesamaan
dengan sistem kewarisan dalam hukum Islam di Indonesia yang dalam hal ini
adalah Kompilasi Hukum Islam. Persamaan tersebut terutama terletak pada sistem
kekerabatan.
Kewarisan
adat Jawa maupun kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam sama - sama menggunakan
sistem kekerabatan bilateral atau parental, dimana pada sistem kekerabatan ini
tidak berlaku penarikan garis keturunan dari jalur ayah atau jalur ibu. Akan
tetapi, penarikan garis keturunan pada sistem bilateral atau parental diambil
dari kedua orang tua (bapak dan ibu). Hal ini berakibat dalam masalah
kewarisan, dimana ahli waris tidak didominasi oleh anggota keluarga garis
keturunan bapak atau ibu, tetapi oleh kedua-duanya, perempuan mempunyai
kesempatan yang sama dengan laki-laki.
Dalam
hukum kewarisan Islam, cara pembagian warisan sesuai dengan bagian masing -
masing ahli waris yang telah ditentukan dengan formulasi dua banding satu,
sehingga laki-laki mendapatkan dua kali lipat dari pada perempuan. Berbeda
halnya dengan cara pembagian dalam kewarisan adat Jawa yang dilakukan dengan
cara pembagian yang sama besar, sehingga ahli waris perempuan mendapatkan
bagian yang sama dengan ahli waris laki-laki.
Berangkat
dari adanya perbedaan mengenai hukum waris , penulis merasa tertarik untuk
membahas lebih jauh tentang hukum waris yang masih ada perbedaan, oleh karena
itu penulis berusaha menuangkannya ke dalam karya tulis yang berjudul “ PEMBAGIAN WARIS MENURUT HUKUM ISLAM DAN
HUKUM ADAT JAWA ”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, penulis merumuskan hal-hal yang akan dibahas dalam
karya tulis ini, dengan tujuan agar dapat memudahkan penulis dalam
penyusunannya dan pembaca dalam memahaminya.
Adapun
perumusan masalah tersebut sebagai berikut :
1. Bagaimana
hukum waris menurut hukum Islam?
2. Bagaimana
hukum waris menurut hukum Adat Jawa?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan
dari penyusunan karya tulis ini adalah sebagai berikut :
1. untuk
mengetahui bagaimana hukum waris menurut hukum Islam
2. untuk
mengetahui bagaimana hukum waris menurut hukum Adat Jawa
D. Metode dan Teknik Penulisan
Untuk mempermudah
penyusunan karya tulis ini, maka penulis menggunakan metode Bibliografi, yaitu
penyusunan berdasarkan pengumpulan buku-buku yang berkaitan dengan maslah yang
dibahas dan nantinya menjadi pegangan dan sumber. ( Surakhman, 1999 : 3 dalam
karya tulis Anne Jannatun Nisa, 2006 : 4 )
E. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan karya
tulis ini, penulis menggunakan sestematika sebagai berikut :
Bab
I :
Pendahuluan, pada bab ini akan diuraikan mengenai
latar belakang pengambilan topik karangan ilmiah, selain itu, bab ini juga
mengemukakan pokok permasalahan, tujuan, metode penulisan dan sistematika
penulisan.
Bab
II :
Landasan Teoritis, pada bab ini berisi teori – teori
yang mengantarkan ke pembahasan teori – teori yang berkaitan dengan judul.
Bab
III :
Pembahasan, pada bab ini akan dijelaskan tentang
pembagian waris menurut hukum Islam dan adat Jawa.
Bab
IV :
Penutup, pada bab ini akan dijelaskan mengenai
simpulan dari uraian –uraian pada bab sebelumnya, kemudian akan ditambahkan
beberapa saran mengenai permasalahan yang dibahas guna membantu dalam pemecahan
masalah.
BAB II
ANALISIS TEORETIS
A. Pengertian Waris
Islam
sebagai ajaran yang universal mengajarkan tentang segala aspek kehidupan
manusia,termasuk dalam hal pembagian harta warisan. Islam mengajarkan tentang
pembagian harta warisan dengan seadil - adilnya agar harta menjadi halal dan
bermanfaat serta tidak menjadi malapetaka bagi keluraga yang ditinggalkannya.
Dalam kehidupan di masyaraakat, tidak sedikit terjadi perpecahan, pertikaian,
dan pertumpahan darah akibat perebutan harta warisan.
Pembagian
harta warisan didalam islam diberikan secara detail, rinci, dan seadil-adilnya
agar manusia yang terlibat didalamnya tidak saling bertikai dan bermusuhan.
Dengan adanya sistem pembagian harta warisan tersebut menunjukan bahwa islam
adalah agama yang tertertib,teratur dan damai.
Kata
mawaris berasal dari kata waris ( bahasa arab ) yang berarti mempusakai harta
orang yang sudah meninggal, atau membagi-bagikan harta peninggalan orang yang
sudah meninggal kepada ahli warisnya. Ahli waris adalah orang-orang yang
mempunyai hak untuk mendapat bagian dari harta peninggalan orang yang telah
meninggal.
Seacara
terminologi ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ulama.
Syaikh
al Khatib As Syarbini: “Ilmu fikih
yang berpautan dengan pembagian harta warisan dan penetahuan tentang
perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta warisan tersebut,
dan pengetahuan tentan bagian-bagian yang wajib dari harta warisan bagi semua
pihak yang memiliki hak." (Hukum Waris Islam, Pengertian Istilah -
IslamWiki | Tentang Islam http://islamwiki.blogspot.com/2010/04/hukum-waris-islam-pengertian-istilah)
Wahbah
Az Zuhaily: "kaidah-kaidah fikih dan perhitungan yang dengannya dapat
diketahui bagian semua ahli waris dari harta peninggalan".
Ahli
waris dapat digolongkan menjadi dua, yaitu ahli waris laki-laki dan ahli waris
perempuan ( lihat QS Al-baqarah : 188 ). Karena sensitif atau rawannya masalah
harta warisan itu, maka dalam agama islam ada ilmu faraid, yaitu ilmu
yang mempelajari tentang warisan dan perhitungannya. Ilmu ini merupakan salah
satu ilmu yang mulai dilupakan oleh orang-orang,bahkan akan hilang jika tidak
dipelajari dan dijaga oleh umat. Oleh karena itu Rasulullah Saw berpesan dalam
sabdanya:
“Belajarlah
kamu sekalian Fara’idl dan ajarkanlah dia kepada manusia, karena dia itu
setengah dari ilmu. Dia itu akan dilupakan orang dan dia itu yang pertama akan
dicabut dari umatku” (H.R. Ibnu Majah dan
Daruquthni).
Salah
satu tujuan dari ilmu waris(mawaris) adalah tidak terjadi perselisihan atau
perpecahan diantara Ahli waris. Ahli waris adalah orang- orang yang mempunyai
hak untuk mendapatkan bagian dan harta peninggalan dari orang yang telah
meninggal. Ahli waris digolongkan menjadi dua, yaitu: Ahli waris laki – laki dan
Ahli waris perempuan.
Ahli waris laki-laki ada 15 orang,
yaitu sebagai berikut:
1.
Anak laki-laki
2.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus kebawah
3.
Bapak
4.
Kakak dari bapak dan terus keatas
5.
Saudara laki-laki sekandung
6.
Saudara laki-laki sebapak
7.
Saudara laki-laki seibu
8.
Anak laki-laki saudara laki-laki kandung
9.
Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak
10.
Paman yang sekandung dengan bapak
11.
Paman yang sebapak dengan bapak
12.
Anak laki-laki paman yang sekandung dengan bapak
13.
Anak laki-laki paman yang sebapak dengan bapak
14.
Suami
15.
Laki-laki yang memerdekakan si pewaris.
(keterangan:
jika 15 ahli waris laki – laki itu ada, maka yang dapat menerima harta waris
hanya tiga, yaitu: anak laki – laki, suami, dan bapak).
Ahli waris perempuan ada 10, yaitu
sebagai berikut:
1.
Anak perempuan
2.
Cucu perempuan dari anak laki-laki
3.
Ibu
4.
Nenek dari ibu
5.
Nenek dari bapak
6.
Saudara perempuan kandung
7.
Saudara perempuan bapak
8.
Saudara perempuan seibu
9.
Istri
10.
Wanita yang memerdekakan si pewaris.
(keterangan:
jika 10 ahli waris itu ada, maka yang berhak menerima harta waris adalah Istri,
anak perempuan, ibu, cucu perempuan, dan saudara perempuan kandung). Jika 25
ahli waris itu ada, maka yang bisa menerimanya hanya lima orang yaitu, suami
atau istri, ibu, bapak, anak laki-laki dan anak perempuan.
Ketentuan Hukum Islam
tentang Mawaris
Berdasarkan
ketentuan perolehan atau bagian dari harta warisan, ahli waris dapat
dikatagorikan menjadi 3 golongan, yaitu sebagai berikut :
1. Zawil furud
Zawil
Furud adalah ahli waris yang perolehan harta warisannya sudah ditentukan oleh
dalil Al Quran dan Hadits (lihat QS.An Nissa:11, 12, dan 176). Dari ayat Al
Qur’an tersebut, dapat diuraikan orang yang mendapat seperdua, seperempat, dan
seterusnya.
A.
Ahli waris yang
mendapat 1/2 , yaitu sebagai berikut:
1. Anak
pempuan tunggal
2. Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki
3. Saudara
perempuan tunggal yang sekandung
4. Saudara
perempuan tunggal yang sebapak apabila saudara perempuan yang sekandung tidak
ada
5. Suami
apabila istrinya tidak mempunyai anak, atau cucu (laki-laki ataupun perempuan)
dari anak laki-laki
B.
Ahli waris yang mendapat 1/4, yaitu sebagai berikut:
1).
Suami apabila istrinya mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki
2).
Istri ( seorang atau lebih ) apabila suaminya tidak mempunyai anak atau cucu
dari anak laki-laki
C.
Ahli waris yang mendapat 1/8, yaitu istri ( seorang atau lebih ) apabila suami
mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki
D.
Ahli waris yang mendapat 2/3, yaitu sebagai berikut:
1.
Dua orang anak perempuan atau lebih apabila tidak ada anak laki-laki (menurut
sebagian besar ulama)
2.
Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki apabila anak perempuan
tidak ada (diqiyaskan kepada anak perempuan)
3.
Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sekandung (seibu sebapak)
4.
Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sebapak
E.
Ahli waris yang mendapat 1/3, yaitu sebagai berikut:
1.
Ibu, apabila anaknya yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu, atau dia
tidak saudara - saudara ( laki-laki atau perempuan ) yang sekandung, yang
sebapak atau yang seibu
2.
Dua orang atau lebih ( laki-laki atau perempuan ) yang seibu apabila tidak ada
anak atau cucu atau anak
F.
Ahli waris yang mendapat 1/6, yaitu sebagai berikut:
1.
Ibu, apabila anaknya yang meninggal itu mempunyai cucu ( dari anak laki-laki )
atau mempunyai saudara-saudara( laki-laki atau perempuan ) yang sekandung, yang
sebapak atau seibu
2.
Bapak, apabila anaknya yang meninggal mempunyai anak atau cucu ( laki-laki atau
perempu an ) dari anak laki-laki
3).
Nenek ( ibu dari ibu atau ibu dari bapak ). Nenek mendapat 1/6 apabila ibu
tidak ada. Jika nenek dari bapak atau ibu masih ada, maka keduanya mendapat
bagian yang sama dari bagian yang 1/6 itu
4).
Cucu perempuan ( seorang atau lebih ) dari laki-laki apabila orang yang
meninggal mempunyai anak tunggal. Akan tetapi, apabila anak perempuan lebih
dari seorang, maka cucu perempuan tidak mendapat apa-apa
5).
Kakek apabila orang yang meninggal mempunyai anak atau cucu ( dari anak
laki-laki ), sedangkan bapaknya tidak ada
6).
Seorang saudara ( laki-laki atu perempuan ) yang seibu
7).
Saudara perempuan yang sebapak ( seorang atau lebih ) apabila saudaranya yang
meninggal itu mempunyai seorang saudara perempuan kandung. Ketentuan pembagian
seperti itu dimaksudkan untuk menggenapi jumlah bagian saudara kandung dan
saudara sebapak menjadi 2/3 bagian. Apabila saudara kandungnya ada dua orang
atau lebih, maka saudara sebapak tidak mendapat bagian.
2. Asabah
Asabah adalah ahli waris yang bagian penerimanya
tidak ditentukan, tetapi menerima dan menghabiskan sisanya. Apabila yang
meninggal itu tidak mempunyai ahli waris yang mendapat bagian tertentu ( zawil
furud ), maka harta peninggalan itu semuanya diserahkan kepada asabah. Akan tetapi
apabila ada diantara ahli waris yang mendapat bagian tertentu, maka sisanya
menjadi bagian asabah yang dibagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut:
A.
Asabah binafsih
Asabah
binafsih yaitu asabah yang berhak
mendapat semua harta atau semua sisa, diatur menurut susunan sebagai berikut:
1.
Anak laki-laki
2.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus kebawah asal saja pertaliannya
masih terus laki – laki
3.
Bapak
4.
Kakek ( datuk ) dari pihak bapak dan terus keatas, asal saja pertaliannya belum
putus dari pihak bapak
5.
Saudara laki - laki sekandung
6.
Saudara laki - laki sebapak
7.
Anak saudara laki - laki kandung
8.
Anak laki - laki kandung
9.
Paman yang sekandung dengan bapak
10.
Paman yang sebapak dengan bapak
11.
Anak laki - laki paman yang sekandung dengan bapak
12.
Anak laki - laki paman yang sebapak dengan bapak
Asabah - asabah
tersebut dinamakan asabah binafsih, karena mereka langsung menjadi asabah tanpa
disebabkan oleh orang lain. Apabila asabah tersebut diatas semuanya ada, maka
tidak semua dari mereka mendapat bagian, akan tetapi harus didahulukan
orang-orang ( asabah ) yang lebih dekat dengan pertaliannya, dengan orang yang
meninggal itu. Jadi, penentuannya diatur menurut nomor urut yang tersebut
diatas.
Jika ahli waris
yang ditinggalkan itu anak laki-laki dan anak perempuan, maka mereka mengambil
semua harta atau semua sisa. Cara pembagiannya ialah untuk anak laki-laki
mendapat dua kali lipat bagian anak perempuan.
Artinya:”Allah
telah menetapkan tentang pembagian harta warisan terhadap anak-anak. Untuk
seorang laki-laki sebanyak bagian dua orang perempuan.” ( QS. An Nisa:11 )
B.
Asabah Bi gairi
Perempuan
juga ada yang menjadi asabah dengan ketentuan sebagai berikut:
1.
Anak laki-laki dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabah dengan
ketentuan untuk laki-laki mendapat dua
kali lipat perempuan.
2. Cucu laki-laki dari
anak laki-laki yang dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabah
3. Saudara laki-laki
sekandung juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabah
4. Saudara laki-laki
sebapak juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabah
Keempat
macam asabah diatas dinamakan asabah bilgair ( asabah dengan sebab orang lain
). Jika ahli waris yang ditinggalkan dua orang saudara atau lebih, maka cara
pembagiannya adalah untuk saudara laki - laki dua kali lipat perempuan( QS.An
Nisa:176 ).
C.
Asabah Ma’algair
Selain
daripada yang telah disebutkan sebelumnya, ada dua lagi asabah yang dinamakan
asabah ma’algair ( asabah bersama orang lain ). Asabah ini hanya dua macam,
yaitu sebagai berikut:
1.
Saudara perempuan sekandung apabila ahli warisnya saudara perempuan sekandung (
seorang atau lebih ) dan anak perempuan (seorang atau lebih ) atau saudara
perempuan sekandung dan cucu perempuan ( seorang atau lebih ), maka saudara
perempuan menjadi asabah ma’algair. Sesudah ahli waris yang lain mengambil
bagian masing-masing, sisanya menjadi bagian saudara perempuan tersebut.
2.
Saudara perempuan sebapak apabila ahli saudara perempuan sebapak (seorang atau
lebih ) dan anak perempuan ( seorang atau lebih ), atau saudara perempuan
sebapak dan cucu perempuan ( seorang atau lebih ), maka saudara perempuan
menjadi asabah ma’algair. Jadi, saudara perempuan sekandung atau sebapak dapat
menjadi asabah ma’algair apabila mereka tidak mempunyai saudara laki-laki. Akan
tetapi, apabila mereka mempunyai saudara laki - laki maka kedudukannya berubah
menjadi asabah bilgair ( saudara perempuan menjadi asabah karena ada saudara
laki - laki ).
3.
Zawil Arham
Zawil Arham
terdiri 11 orang, yaitu:
1. Cucu
laki – laki dari keturunan anak perempuan.
2. Anak
laki – laki dari saudara perempuan.
3. Anak
perempuan dari saudara laki – laki .
4. Anak
perempuan dari paman.
5. Paman
dari ibu.
6. Saudara
laki – laki dari ibu.
7. Saudara
perempuan dari ibu.
8. Saudara
perempuan dari bapak.
9. Bapak
dari ibu.
10. Ibu
dari bapak ibu.
11. Anak
laki – laki dari saudara laki – laki seibu.
B. Sebab – sebab seseorang mendapat waris
Sebab
– sebab ahli waris mendapatkan waris ada 4 perkara, yaitu:
1. Nasab
atau keturunan
Bapak , kakek,
anak, cucu dan lain-lainnya itu mendapatkan waris dari seseorang yang meninggal
dunia adalah atas dasar keturunan. Jadi mereka mendapatkan hak itu karena
adanya hubungan keturunan diantara mereka. Sesuai dengan firman Allah SWT yang
tertera di bawah ini.
“Bagi
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapaknya dan kerabatnya,
dan bagi wanita (pun) ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapaknya dan
kerabatnya, baik sedikit maupun banyak menurut bagian yang telah ditentukan
(QS. An Nisa (4):7).
2. Pernikahan
Sebab
kedua seseorang mendapatkan waris, karena sebab pernikahan, seperti suami,
istri.
Allah
SWT berfirman dalam Q.S An-Nisa : 12.
“Dan
bagian kamu adalah setengah dari harta yang ditinggalkan istri-istri kamu.”
“Dan
bagian para istri adalah seperempat dari harta yang kamu tinggalkan.”
3. Hubungan
agama, maksudnya orang yang meninggal dunia, apabila tidak ada ahli waris yang
pasti, maka harta warisannya diserahkan kepada Baitulmal untuk umat Islam.
4. Al-Wala,
maksudnya seseorang yang memerdekakan hamba sahaya.
Apabila
seseorang memerdekakan hamba sahaya, lalu ketika si hamba sahaya tersebut
meninggal dunia dan meninggalkan harta, maka orang yang memerdekakan hamba
sahaya tersebut berhak mendapat waris dari hamba sahaya tersebut. Akan tetapi
saat ini hamba sahaya sudah tidak ada.
C. Batalnya Hak Menerima Waris
Sekalipun
berhak menerima warisan dari seseorang yang meninggal dunia, tetapi hak itu dapat batal
karena hal - hal berikut ini:
1. Tidak beragama
islam. Hukum islam hanya untuk umat islam, maka seorang bapak yang tidak
beragama islam tidak mewarisi harta anaknya yang beragama islam, demikian juga
sebaliknya
2. Murtad dari agama
islam. Sekalipun mulanya beragama islam, tetapi kemudian pindah agama lain,
maka ia tidak berhak lagi mempusakai harta keluarganya yang beragama islam
3. Membunuh. Orang yang
membunuh tidak berhak mendapat harta waris dari orang yang dibunuhnya
sebagaimana sabda Rasulullah.,”Tidaklah si pembunuh mewarisi harta orang yang
dibunuhnya,sedikitpun. “( HR.Ahli Hadits )
4. Menjadi hamba.
Seseorang yang menjadi hamba orang lain tidak berhak menerima harta waris dari
keluarganya karena harta harta tersebut akan jatuh pula ke tangan orang yang
menjadi majikannya.
Dalam
hukum waris Islam ini sebelum harta warisan itu dibagikan kepada ahli waris,
maka harus diperhitungkan terlebih dahulu untuk pembayaran yang harus dilunasi
oleh si peninggal, yaitu:
1.
Zakat, apabila telah sampai saatnya untuk mengeluarkan zakat harta, maka harta
peninggalan dikeluarkan untuk zakat mal terlebih dahulu atau zakat fitrah.
2.
Hutang, apabila si jenazah meninggalkan hutang, maka hutang itu harus dibayar
lebih dulu
3.
Biaya perawatan, yaitu pembelanjaan yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan dan
pengurusan jenazah seperti membeli kain kafan dan biaya penguburan hingga si
jenazah selesai dimakamkan
4.
Membayar wasiat, apabila sebelum meninggal ia berwasiat, maka harus dibayarkan
lebih dulu, asalkan tidak melebihi 1/3 harta peninggalan. Berwasiat tidak
dibenarkan kepada ahli waris karena mereka telah mendapat bagian dari harta
warisan yang akan ditinggalkannya. Lain halnya semua ahli waris setuju bahwa
sebagian dari harta peninggalan itu boleh di wasiatkan kepada seseorang di
antara mereka
5.
Memenuhi nazar jenazah ketika masih hidup dan belum sempat dilaksanakan.
Misalnya, nazar untuk mewakafkan sebidang tanahnya, dan nazar untuk ibadah
haji.
Apabila
semua hak yang tersebut di atas telah di selesaikan semuanya, maka harta
warisan yang masih ada dapat dibagi - bagikan kepada ahli waris yang berhak
menerimanya.
D. Pengertin Hukum Islam
Hukum
merupakan peraturan yang disusun dan dibuat dengan tujuan untuk menciptakan
masyarakat yang aman, tenteram dan bertingkah laku sesuai dengan aturan hukum.
Hukum
bisa dibuat melalui ketetapan agama, perundingan, maupun kesepakatan adat. Salah
satu ketetapan agama adalah hukum Islam.adapun pengertian hukum Islam adalah
ketetapan
yang telah ditentukan oleh Allah SWT berupa aturan dan larangan bagi ummat
muslim, hukum yang bersumber pada nilai-nilai keislaman yang berasal dari
dalil-dalil agama Islam.
Menurut Hasby
Ash Shiddieqie : menyatakan bahwa hukum islam yang sebenarnya tidak lain dari
pada fiqh islam atau syariat Islam, yaitu koleksi daya upaya para fuqaha dalam
menerapkan syariat Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. (
Hukum-hukum fiqih Islam, 1991)
Di
dalam ajaran agama islam terdapat hukum atau aturan perundang-undangan yang
harus dipatuhi oleh setiap umat karena berasal dari Al-Qur'an dan Hadist. Hukum
islam yang disebut juga sebagai hukum syara' terdiri atas lima komponen yaitu
antara lain wajib, sunah, haram, makruh dan mubah :
1. Wajib
Wajib
adalah suatu perkara yang harus dilakukan oleh pemeluk agama islam yang telah
dewasa dan waras (mukallaf), di mana jika dikerjakan mendapat pahala dan
apabila ditinggalkan akan mendapat dosa. Contoh : solat lima waktu, pergi haji
(jika telah mampu), membayar zakat, dan lain-lain.
Wajib
terdiri atas dua jenis/macam :
-
Wajib 'ain adalah suatu hal yang harus dilakukan oleh semua orang muslim
mukalaf seperti sholah fardu, puasa ramadan, zakat, haji bila telah mampu dan
lain-lain.
-
Wajib Kifayah adalah perkara yang harus dilakukan oleh muslim mukallaf namun jika sudah ada yang malakukannya maka
menjadi tidak wajib lagi bagi yang lain seperti mengurus jenazah.
2.
Sunnah/Sunnat
Sunnat
adalah suatu perkara yang bila dilakukan umat islam akan mendapat pahala dan
jika tidak dilaksanakan tidak berdosa. Contoh : sholat sunnat, puasa senin
kamis, solat tahajud, memelihara jenggot, dan lain sebagainya.
Sunah
terbagi atas dua jenis/macam:
-
Sunah Mu'akkad adalah sunnat yang sangat dianjurkan Nabi Muhammad SAW seperti
shalat ied dan shalat tarawih.
-
Sunat Ghairu Mu'akad yaitu adalah sunnah yang jarang dilakukan oleh Nabi
Muhammad SAW seperti puasa senin kamis, dan lain-lain.
3.
Haram
Haram
adalah suatu perkara yang mana tidak boleh sama sekali dilakukan oleh umat
muslim di mana pun mereka berada karena jika dilakukan akan mendapat dosa dan
siksa di neraka kelak. Contohnya : main judi, minum minuman keras, zina,
durhaka pada orang tua, riba, membunuh, fitnah, dan lain-lain.
4.
Makruh
Makruh
adalah suatu perkara yang dianjurkan untuk tidak dilakukan akan tetapi jika
dilakukan tidak berdosa dan jika ditinggalkan akan mendapat pahala dari Allah
SWT. Contoh : posisi makan minum berdiri, merokok (mungkin haram).
5.
Mubah
Mubah
adalah suatu perkara yang jika dikerjakan seorang muslim mukallaf tidak akan
mendapat dosa dan tidak mendapat pahala. Contoh : makan dan minum, belanja,
bercanda, melamun, dan lain sebagainya.
Tujuan Hukum Islam
Allah
mempunyai tujuan dengan menurunkan Agama Islam, yaitu untuk mewujudkan
kemaslahatan bagi umat manusia. Begitu juga dengan hukum – hukumnya, menurut Abu Zahroh ada tiga tujuan Hukum Islam, yaitu:
1. Mendidik
individu agar mampu menjadi sumber kebajikan bagi masyarakatnya dan tidak
menjadi sumber malapetakata bagi orang lain.
2. Menegakkan
keadilan di dalam masyarakat secara internal di antara sesama ummat Islam
maupun eksternal antara ummat Islam dengan masyarakat luar. Agama Islam tidak
membedakan manusia dari segi keturunan, suku bangsa, agama. Warna kulit dan
sebagainya. Kecuali ketaqwaan kepada-Nya.
3. Mewujudkan
kemaslahatan hakiki bagi manusia dan masyarakat. Bukan kemaslahatan semu untuk
sebagian orang atas dasar hawa nafsu yang berakibat penderitaan bagi orang ain,
tapi kemaslahatan bagi semua orang, kemaslahatan yang betul-betul bisa
dirasakan oleh semua pihak.
E. Pengertian Hukum Adat
Istilah adat berasal dari bahasa Arab, yang apabila diterjemahkan
dalam Bahasa Indonesia berarti “kebiasaan”. Adat atau kebiasaan telah meresap
kedalam Bahasa Indonesia, sehingga hampir semua bahasa daerah di Indonesia
telah menganal dan menggunakan istilah tersebut.
Dengan kata lain adat atau kebiasaan adalahTingkah laku seseoarang yang
terus-menerus dilakukan dengan cara tertentu dan diikuti oleh masyarakat luar
dalam waktu yang lama.
Pengertian hukum adat menurut para ahli
1.
Prof.
Mr. Cornelis van Vollen Hoven
Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku masyarakat yang
berlaku dan mempunyai sanksi dan belum dikodifikasikan.
2.
Prof.
Dr. Soepomo, S.H.
Hukum adat
adalah hukum tidak tertulis didalam peraturan tidak tertulis, meliputi
peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib
tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya
peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
3.
Prof.
M.M. Djojodigoeno, S.H.
Hukum adat
adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan -peraturan.
Perbedaan adat dengan hukum adat
1.
Terhaar
Suatu adat akan menjadi hukum adat, apabila ada keputusan dari
kepala adat dan apabila tidak ada keputusan maka itu tetap merupakan tingkah
laku/ adat.
2.
Van Vollen Hoven
Suatu kebiasaan/ adat akan menjadi hukum adat, apabila kebiasaan
itu diberi sanksi.ila tidak ada keputusan maka itu tetap merupakan tingkah
laku/ adat.
3.
Adat/
kebiasaan mencakup aspek yang sangat luas sedangkan hukum adat hanyalah
sebagian kecil yang telah diputuskan untuk menjadi hukum adat.
4.
Hukum adat mempunyai nilai-nilai yang
dianggap sakral/suci sedangkan adat tidak mempunyai nilai/ biasa.
Ciri – ciri
hukum adat:
1.
Tidak
tertulis dalam bentuk perundangan dan tidak dikodifikasi.
2.
Tidak tersusun secara sistematis.
3.
Tidak dihimpun dalam bentuk kitab perundangan.
4.
Tidak tertatur.
5.
Keputusannya tidak memakai konsideran
(pertimbangan).
6.
Pasal-pasal aturannya tidak sistematis dan
tidak mempunyai penjelasan.
Semua suku bangsa dan etnis di Indonesia memiliki dan terikat
secara kultural maupun sosial ekonomi atas aturan dan tatanan nilai tradisional
yang mengacu kepada adat dan hukum adat dengan penselarasan hukum-hukum agama
atau kepercayaan.
Tanpa disadari bahwa nilai luhur dari semua aspek kehidupan telah
diatur dengan norma-norma hukum adat. Masyarakat adat memiliki tatanan dan lembaga
adat dengan berbagai perangkat hukum yang dimiliki dan memiliki eksistensi yang
kuat hingga saat ini. Lembaga adat terbukti sebagai lembaga yang menyelesaikan
konflik-konflik yang tidak mampu ditangani oleh struktur lembaga formal.
Masyarakat Adat sendiri didefinisikan sebagai : Kelompok masyarakat
yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis
tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya,
sosial dan wilayah sendiri. Artinya suatu kelompok termasuk dalam masyarakat
adat jika dia mempunyai sistem tersendiri dalam menjalankan penghidupan mereka,
yang terbentuk karena interaksi yang terus menerus di dalam kelompok tersebut
dan mempunyai wilayah teritori sendiri, dimana sistem-sistem nilai yang mereka
yakini masih diterapkan dan berlaku bagi kelompok tersebut.
BAB III
PEMBAHASAN
A. PEMBAGIAN WARIS MENURUT HUKUM ISLAM
Islam merupakan agama yang sempurna, dalam arti mengatur segala
aspek kehidupan manusia, salah satunya dalam hal waris, pembagian harta waris.
Islam mengajarkan tentang pembagian harta warisan dengan seadil – adilnya agar
sesuai dengan ketentuan syariat Islam.
Islam telah menentukan ahli waris dan bagian – bagian yang akan
diperolehnya, diantaranya:
1.
Zawil
Furud
a). Ahli waris
yang mendapat 1/2, yaitu:
· Anak perempuan tunggal
· Cucu perempuan tunggal dari anak laki – laki
· Saudara perempuan tunggal yang sekandung
· Saudara perempuan tunggal yang sebapak apabila saudara perempuan
yang sekandung tidak ada
· Suami apabila istrinya tidak mempunyai anak, atau cucu (laki-laki
ataupun perempuan) dari anak laki-laki
b). Ahli waris
yang mendapat 1/4, yaitu sebagai berikut:
· Suami apabila istrinya mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki
· Istri ( seorang atau lebih ) apabila suaminya tidak mempunyai anak
atau cucu dari anak laki-laki
c). Ahli waris
yang mendapat 1/8, yaitu
· istri apabila suami mempunyai anak atau cucu laki – laki
d). Ahli waris
yang mendapatkan 2/3, yaitu
· Dua anak perempuan atau lebihm, apabila tidak adaanak laki – laki
· Dua orang cucu perempuan dari anak laki – laki, apabila tidak ada
anak perempuan atau laki – laki
· Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sekandung
· Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sebapak
e). Ahli waris
yang mendapatkan 1/3, yaitu
· Ibu, apabila anaknya yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu
atau saudara – saudara ( laki – laki atau perempuan )
· Dua orang atau lebih ( laki –laki atau perempuan ) yang seibu,
apabila tidak ada anak atau cucu
f). Ahli waris
yang mendapat 1/6, yaitu sebagai berikut:
· Ibu, apabila anaknya yang meninggal itu mempunyai cucu ( dari anak
laki-laki ) atau mempunyai saudara-saudara( laki-laki atau perempuan ) yang
sekandung, yang sebapak atau seibu
· Bapak, apabila anaknya yang meninggal mempunyai anak atau cucu (
laki-laki atau perempu an ) dari anak laki-laki
· Nenek ( ibu dari ibu atau ibu dari bapak ). Nenek mendapat 1/6
apabila ibu tidak ada. Jika nenek dari bapak atau ibu masih ada,
· maka keduanya mendapat bagian yang sama dari bagian yang 1/6 itu
· Cucu perempuan ( seorang atau lebih ) dari laki-laki apabila orang
yang meninggal mempunyai anak tunggal. Akan tetapi, apabila anak perempuan lebih
dari seorang, maka cucu perempuan tidak mendapat apa-apa
· Kakek apabila orang yang meninggal mempunyai anak atau cucu ( dari
anak laki-laki ), sedangkan bapaknya tidak ada
· Seorang saudara ( laki-laki atu perempuan ) yang seibu
· Saudara perempuan yang sebapak ( seorang atau lebih ) apabila
saudaranya yang meninggal itu mempunyai seorang saudara perempuan kandung.
2.
‘Asobah
‘Asobah ialah orang – orang yang
mendapatkan warisan di luar ketentuan zawil furud ada kalanya mendapat seluruh
harta, sebagian atau tidak sama sekali. ‘Asobah dibagi menjadi tiga macam,
yaitu:
a)
‘Asobah
binafsih
‘Asobah binafih adalah ‘asobah yang mendapat semua harta atau semua
sisa, diatur menurut susunan sebagai berikut:
1. Anak laki-laki
2. Cucu
laki-laki dari anak laki-laki dan terus kebawah asal saja pertaliannya masih
terus laki – laki
3. Bapak
4. Kakek (
datuk ) dari pihak bapak dan terus keatas, asal saja pertaliannya belum putus
dari pihak bapak
5. Saudara laki - laki sekandung
6. Saudara laki - laki sebapak
7. Anak saudara laki - laki kandung
8. Anak laki - laki kandung
9. Paman yang sekandung dengan bapak
10. Paman yang sebapak dengan bapak
11. Anak laki - laki paman yang sekandung dengan bapak
12. Anak laki - laki paman yang sebapak dengan bapak
b)
‘Asobah
bi ghairi
Perempuan juga ada yang menjadi asabah dengan
ketentuan sebagai berikut:
1. Anak
laki-laki dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabah dengan
ketentuan untuk laki-laki mendapat dua
kali lipat perempuan.
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki yang dapat
menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabah.
3. Saudara
laki-laki sekandung juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi
asabah.
4. Saudara
laki-laki sebapak juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabah.
Keempat macam asabah diatas dinamakan asabah bilgair
( asabah dengan sebab orang lain ). Jika ahli waris yang ditinggalkan dua orang
saudara atau lebih, maka cara pembagiannya adalah untuk saudara laki - laki dua
kali lipat perempuan( QS.An Nisa:176 ).
c. ‘Asobah Ma’agairi
Selain daripada yang telah disebutkan sebelumnya,
ada dua lagi asabah yang dinamakan asabah ma’algair (asabah bersama orang lain).
Asabah ini hanya dua macam, yaitu sebagai berikut:
- Saudara perempuan sekandung, apabila ahli warisnya saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) dan anak perempuan (seorang atau lebih) atau saudara perempuan sekandung dan cucu perempuan (seorang atau lebih), maka saudara perempuan menjadi asabah ma’algair. Sesudah ahli waris yang lain mengambil bagian masing-masing, sisanya menjadi bagian saudara perempuan tersebut.
- Saudara perempuan sebapak, apabila ahli saudara perempuan sebapak (seorang atau lebih) dan anak perempuan (Seorang atau lebih), atau saudara perempuan sebapak dan cucu perempuan (seorang atau lebih), maka saudara perempuan menjadi asabah ma’algair. Jadi, saudara perempuan sekandung atau sebapak dapat menjadi asabah ma’algair apabila mereka tidak mempunyai saudara laki-laki. Akan tetapi, apabila mereka mempunyai saudara laki - laki maka kedudukannya berubah menjadi asabah bilgair ( saudara perempuan menjadi asabah karena ada saudara laki - laki ).
3.
Zawil Arham
Zawil Arham terdiri 11 orang, yaitu:
a.
Cucu laki – laki
dari keturunan anak perempuan.
b.
Anak laki – laki
dari saudara perempuan.
c.
Anak perempuan
dari saudara laki – laki .
d.
Anak perempuan
dari paman.
e.
Paman dari ibu.
f.
Saudara laki –
laki dari ibu.
g.
Saudara
perempuan dari ibu.
h.
Saudara
perempuan dari bapak.
i.
Bapak dari ibu.
j.
Ibu dari bapak
ibu.
k.
Anak laki – laki
dari saudara laki – laki seibu.
4.
Hijab
Hijab menurut bahasa adalah dinding, sedangkan
menurut istilah adalah dinding yang menghalangi untuk mendapatkan harta warisan
atau mendapatkan bagian yang lebih banyak. Orang yang mendindingi ahli Waris
agar tidak mendapatkan bagian sama sekali atau berkurang bagiannya disebut hajib,
sedangkan ahli waris yang terdindingi disebut mahjub.
Hijab dibagi dua, yaitu:
a. Hijab
Nuqsan
Hijab nuqsan
adalah dinding yang mengurangi bagian warisan karena ada ahli waris yang lain.
b. Hijab
Hirman
Hijab hirman
adalah dinding yang menghalangi ahli waris untuk menerima bagian harta warisan.
Hijab hirman dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
1. Hijab
Hirman bi Syahsi
Hijab
hirman bi syahsi adalah dinding yang menghalangi ahli waris untuk menererima
bagian warisan karenaada ahli waris lain yang lebih dekat hubungannya dengan
pewaris.
2. Hijab
Hirman bi Wasfi
Hijab
hirman bi wasfi adalah dinding yang menghalangi agli waris untuk menerima
bagian warisan karena ada suatu sebab, seperti berbeda agama atau membunuh.
Bagian terhadap anak
yang masih dalam kandungan
Para ulama berbeda pendapat tentang bagian terhadap
anak yang masih dalam kandungan, antara lain:
1. Imam
Hanafi mengatakan : hendaknya disisakan satu bagian, sebesar bagian seorang
anak laki – laki , sebab lazimnyaanak dilahirkan satu orang. Sedangkan yang
lebih satu orang masih merupakan praduga belaka.
2. Imam
Malik dan Syafi’i mengatakan : hendaknya disisakan empat bagian orang anak laki – laki dan empat orang
anak perempuan.
3. Ulama
Syi’ah mengatakan : hendaknya disisakan dua bagian anak laki – laki, semata –
mata untuk berhati – hati saja.
Anak yang masih dalam kandungan dapat menerimaharta
warisan dengan dua syarat:
a. Diyakini
kebenarannya, bahwa janin telah ada dalam perut ibunya ketika ayah janin
tersebut meninggal.
b. Anak
tersebut dilahirkan dalam keadaan hidup.
Hak – Hak yang harus di Dahulukan
Sebelum harta pewaris dibagi – bagikan kepada ahli
waris yang berhak menerimanya, maka harus diselesaikan dulu hak – hak yang
berkaitan dengan harta peninggalan itu.
Adapun hak – hak yang harus diselesaikan adalah
sebagai berikut:
1. Zakat,
apabila telah sampai saatnya untuk mengeluarkan zakat harta, maka harta
peninggalan dikeluarkan untuk zakat mal terlebih dahulu atau zakat fitrah.
2. Hutang, apabila si jenazah meninggalkan hutang,
maka hutang itu harus dibayar lebih dulu.
3. Biaya perawatan, yaitu pembelanjaan yang
dikeluarkan untuk penyelenggaraan dan pengurusan jenazah seperti membeli kain
kafan dan biaya penguburan hingga si jenazah selesai dimakamkan
4. Membayar wasiat, apabila sebelum meninggal ia
berwasiat, maka harus dibayarkan lebih dulu, asalkan tidak melebihi 1/3 harta
peninggalan. Berwasiat tidak dibenarkan kepada ahli waris karena mereka telah
mendapat bagian dari harta warisan yang akan ditinggalkannya. Lain halnya semua
ahli waris setuju bahwa sebagian dari harta peninggalan itu boleh di wasiatkan
kepada seseorang di antara mereka
5. Memenuhi nazar jenazah ketika masih hidup dan
belum sempat dilaksanakan. Misalnya, nazar untuk mewakafkan sebidang tanahnya,
dan nazar untuk ibadah haji.
Apabila semua hak yang tersebut di atas telah di
selesaikan semuanya, maka harta warisan yang masih ada dapat dibagi - bagikan
kepada ahli waris yang berhak menerimanya.
Perhitungan Pembagian Warisan
Contoh kasus:
Seorang laki – laki meninggal dunia dengan
meninggalkan warisan sebesar RP 15.000.000 dan meninggalkan dua orang anak
perampuan, seorang cucu laki – laki dari anak laki – laki, seorang saudara
perempuan sekandung, ibu, dan seorang anak laki – laki.
Penjelasan :
Tirkah : RP
15.000.000
Ahli waris :
-Ibu = 1/6, karena ada far’u waris
-Seorang anak laki-laki = ‘asobah bi ghairi
-Dua orang anak perempuan = ‘asobah bi ghairi
-Seorang cucu laki-laki dari anak laki-laki = mahjub, karena ada anak laki - laki
-Seorang saudara perempuan sekandung = mahjub, karena anak
laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki
Asal Masalah (KPK) :
6
-Ibu = 1/6 * 6 = 1
- seorang anak laki-laki =
‘asobah ( 6 – 1 = 5)
-dua orang anak perempuan
= ‘asobah ( 6 – 1 = 5)
Bagian Ibu = 1/6 *RP 15.000.000 =
RP 2.500.000
Bagian ‘asobah = 5/6 * RP 15.000.000 = RP 12.500.000
Untuk anak laki – laki mendapatkan bagian dua kali lipat dari
perempuan, jadi bagian seorang anak laki-laki = 2/4 * RP 12.500.000 = RP
6.250.000
Bagian dua orang anak perempuan = 2/4 * RP 12.500.000 = RP
6.250.000
B. PEMBAGIAN WARIS MENURUT HUKUM ADAT JAWA
Secara umum, asas pewarisan yang di
pakai oleh masyarakat adat tergantung dari jenis sistem kekerabatan yang
dianut. Masyarakat adat Jawa menganut sistem bilateral atau parental, yaitu
sistem yang ditarik menurut garis orang tua, dimana kedudukan laki – laki dan
perempuan tidak dibedakan di dalam pewarisan.
Secara umum harta warisan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
1.
Harta
pusaka, yaitu suatu benda yang tergolong kekayaan dimana benda tersebut
mempunyai kekuatan magnis.
2.
Harta
bawaan, yaitu sejumlah harta kekayaan yang dibawa oleh (calon) istri atau suami
pada saat pelaksanaan perkawinan.
3.
Harta
pencaharian, yaitu harta yang diperoleh oleh suami-istri dalam ikatan
perkawinan, baik secara bersama – sama maupun sendiri – sendiri.
Pada masyarakat adat Jawa harta
waris diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu:
a.
Gawan
( Harta Bawaan)
Harta ini merupakam harta yang
dibawa oleh suami atau istri pada saat akan melaksanakan pernikahan, dan harta
bawaan lain yang berasal dari hasil usaha sendiri ( harta penghasilan ), harta
pemberian atau hibah wasiat baik dari kerabat atau orang lain.
Dan apabila dalam perjalanan
pernikahan tersebut terjadi perceraian, maka harta bawaan kembali kepada masing
– masing pihak suami dan istri. Seperti yang dikatakan oleh orang Jawa, “ tetep
dadi duwekke dewe – dewe, bali menyangasale”, yaitu tetap menjadi kepunyaan
masing – masing dan kembali pada asalnya.
b.
Gono
– gini ( harta bersama )
Harta ini merupakan harta yang
diperoleh delama dalam ikatan pernikahan, yang di peroleh dalam usaha bersama –
sama.
Pada dasarnya jenis harta diatas
belum bisa menjadi harta waris. Akan tetapi, harta tersebut masih bersifat
harta peninggalan. Oleh karena itu harus di kurangi terlebih dahulu dengan hal
– hal yang berkaitan dengan pewaris, dan sisa setelah dikurangi itulah yang
menjadi harta waris dan dapat dibagi – bagi.
Menurut adat tradisional jawa, semua
anak baik anak laki – laki maupun perempuan, mempunyai hak yang sama atas harta
peninggalan orang tuanya. Jika pewaris tidak mempunyai anak, tidak mempunyai
anak angkat dari anak saudara atau dari anak orang lain, maka hartanya akan diwarisi
berturut – turut oleh orang tua, bapak atau ibu pewaris, dan apabila tidak ada,
maka hartanya diberikan kepada kakek atau nenek pewaris. Dan apabila tidak ada
juga, maka diberikan kepada paman atau bibi baik dari garis ayah atau ibu
pewaris.
Sedangkan untuk bagian masing-masing
ahli waris dalam adat jawa ditentukan oleh banyaknya ahli waris yang akan
menerima warisan, misalnya seorang laki-laki meninggal dunia dengan
meninggalkan ahli waris sebagai berikut: dua anak perempuan(A,B), cucu
perempuan dari anak laki-laki(C), dan cucu laki-laki dari anak laki-laki(D).
Maka besar bagian masing-masing ahli waris adalah 1/4 . Jika pewaris tersebut
meninggalkan harta warisan sebesar Rp.15.000.000 dan harta warisan itu sudah
dikurangi dengan hal-hal yang ada sangkutannya dengan pewaris, maka besar bagian
masing-masing ahli waris adalah 1/4 * Rp.15.000.000 = Rp. 3.750.000.
Mengenai anak angkat, dia
mendapatkan warisan dengan sistem ngangsu sumur loro, artinya mempunyai dua
sumber warisan, yaitu dari orang tua kandungnya dan dari orang tua angkatnya.
Dalam masyarakat adat, tak terkecuali masyarakat Jawa, proses
pewarisan terbagi dua, yaitu: proses pewarisan sebelum pewaris meninggal dan
setelah pewaris meninggal.
A.
Pewarisan
sebelum pewaris meninggal
1.
Penerusan
atau Pengalihan ( Lintiran )
Ketika pewaris masih hidup, pewaris sudah melakukan penerusan atau
pengalihan kedudukan atau jabatan, hak dan kewajiban, dan harta kekayaan kepada
ahli waris.
Biasanya
anak laki – laki atau perempuan yang akan nikah diberikan tanah pertanian,
pekarangan dengan rumahnya atau ternak. Benda – benda tersebut merupakan
bagiannya.
Selain
untuk anak kandung , penerusan atau pengalihan juga bisa diberikan kepada anak
angkat, karena adanya kekhawatiran pewaris kalau anak angkat tersebut
tersingkir oleh anak kandungnya apabila pembagiannya dilakukan setelah wafat.
2.
Penunjukan
( Cungan )
Berbeda
dengan penerusan atau pengalihan, pewarisan secara penunjukan ini mengakibatkan
berpindahnya hak kepemilikan dan penguasaan harta yang akan berlaku sepenuhnya
kepada ahli waris setelah pewaris meninggal. Jika pewaris belum meninggal, maka
pewaris masih berwenang dan berhak menguasai harta tersebut.
Akan
tetapi, apabila dalam keadaan mendesak, pewaris bisa menarik kembali harta
tersebut dengan syarat harus ada musyawarah dengan ahli waris yang sudah
ditunjuk.
3.
Pesan
atau wasiat ( welingan, wekasaan )
Pesan
( welingaan ) ini biasanya dilakukan pada saat pewaris sakit dan tidak bisa
diharapkanlagi kesembuhannya, atau ketika akan berpergian jauh. Cara ini baru
berlaku setelah pewaris tidak pulang atau benar telah meninggal. Akan tetapi,
jika pewaris kembali pulang atau masih hidup, maka pesan tersebut bisa dicabut
kembali.
B.
Pewarisan
setelah Pewaris Meninggal
Secara
umum, pewarisan setelah meninggal dunia sama dengan pewarisan hukum
konvensional. Pada masyarakat adat Jawa yang sistem kekerabatannya parental
atau bilateral dan menganut asas pewarisan individual, maka harta warisan tidak
dikuasai oleh anggota keluarga tertentu, tetapi dibagi kepada para ahli waris
yang ada.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Dari
uraian sebelumnya ada beberapa hal yang dapat disimpulkan :
1.
Pembagian
waris yang dilakukaan dengan ketentuan hukum islam, yaitu pembagian harta
warisan yang telah ditentukan dengan formasi dua banding satu, sehingga laki –
laki mendapat dua kali lsipat dari bagian perempuan. Pembagiannya pun dilakukan
setelah pewaris meninggal. Dan bagi anak angkat dalam hukum islam, tidak
mendapatkan bagian harta warisan, karena anak angkat tidak mempunyai hubungan
darah dengan pewaris.
2.
Pembagian
waris dalam adat Jawa dilakukan dengan cara pembagian sama bersar, sehingga
ahli waris perempuan mendapatkan bagian harta warisan yang sama dengan bagian ahli waris laki – laki.
proses Pembagian harta warisan dalam adat Jawa bisa dilakukan sebelum dan
sesudah pewaris meninggal. Mengenai anak angkat dalam adat Jawa mendapat bagian
warisan dengan sistem ngangsu sumur loro, yaitu mendapatkan dua sumber warisan,
yakni dari orang tua angkatnya dan orang tua kandungnya sendiri.
B. Saran - saran
Penulis juga ingin menyampaikan saran – saran dalam karangan ilmiah
ini, yaitu :
1.
Kita
harus mengetahui, mempelajari ilmu waris terutama ilmu waris Islam, karena ilmu
waris ini mulai dilupakan oleh manusia.
2.
Dalam
tata cara pembagian waris kita harus mengambil dari hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Alisya Awang. 2009. Pengertian waris. [on line].
Tersedia: http://alisya-awangsblog.blogspot.com/2009/05/pengertian-waris.html. [ 20 september 2012]
2.
Arifin,
S. 2002. Membagi Warisan Menurut Hukum Islam. Jakarta ; PT MUSI PERKASA
UTAMA
3.
Fiqih
kelas xi
5.
Muhammad,
B. 2006. Pokok- Pokok Hukum Adat. Jakarta ; PT Perca
6.
Tamakiran
S.SH. 1987. Asas Asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum. Bandung ;
CV PIONIR JAYA Bandung